Cerita ini saya buat beberapa bulan lalu, ketika saya kembali membuka salah satu majalah langganan saya waktu SMA -tapi sekarang majalahnya sudah berubah versi menjadi majalah online-... Dengan semangat empat lima saya membuat cerita ini, dan berharap tulisan saya yang geje ini dimuat. Ternyata tanggapan dari pihak majalah cerpen saya"kurang greget". Ya iyalah, ini cerpen pertama saya.. Hohoho.. Ya udahlah, daripada ni cerpen mubazir, mending diposting di blog aja..give a comment ya sodara-sodara.. :D
Siang
itu, seperti biasa aku berjalan menyusuri tangga kampus. Namun ada yang terasa
kurang nyaman dengan kakiku. Ah, ternyata sepatu coklat kesayanganku ini sudah
tidak sempurna lagi. Kebiasaan burukku memakai sepatu setengah bagian -dan
menginjak sebagian lainnya- selalu membuat sepatu-sepatuku tak pernah berumur
lama. Segera otakku memutar ulang suara sol sepatu yang pernah terekam di
telingaku. Ya, aku pernah mendengar tukang sol sepatu melewati kostku di
jam-jam tertentu. Cukup panggil, dan dalam sekejap mata sepatu kesayanganku
akan kembali seperti sedia kala! Sempurna!
***
Seingatku
suara tukang sol sepatu itu pernah beberapa kali terdengar sekitar pukul
sepuluh pagi. Segera aku memasang mode siaga pada kedua telingaku. Sepuluh
menit, tiga puluh menit, hampir satu jam. Ah, bosan juga menunggu. Akhirnya aku
pasang headset dan memutar playlist di laptop sembari browsing kesana kemari.
Tak
lama, sayup ku dengar suara teriakan sol sepatu. Sontak ku lepas headset, dan
segera menyambar jaket dan jilbab di gantungan balik pintu kamarku. Setengah
berlari aku menuju teras kostku.. Dan hasilnya, nihil! Tak satupun ku lihat
sosok manusia yang mengusung perlengkapan sol di depanku. Ah, aku terlambat. Sudahlah,
masih ada hari esok. Toh aku masih memiliki sepatu lain yang bisa aku gunakan.
Segera aku berbalik ke kamarku dan kembali memasang headset.
***
“Ada
pertanyaan?”, seluruh isi kelas serentak menjawab lirih dengan kata tidak.
Siang yang panas membuat kami ingin segera mengakhiri kuliah hari itu, dan
bergegas istirahat. Karena tak ada lagi jadwal kuliah hari ini, langsung saja
kami pulang ke kost masing-masing. Dan seperti biasa, aku menyusuri tangga
kampus dan jalan setapak menuju jalan pulang.
Tak
butuh waktu lama, sekitar sepuluh menit, tibalah aku di depan kost. Karena aku
bersama teman, aku tak segera membuka pintu. Aku memilih teras kost untuk
bercerita bersama temanku ini. Ya, teras kostku yang nyaman, dengan pohon
rambutan yang cukup rindang di depannya. Cukup lama aku bercerita dengan
temanku, tiba-tiba aku dengar suara yang aku tunggu dari kejauhan. Ya! Sol
sepatu! Akhirnya! Dengan semangat empat lima segera ku menuju pagar kostku. Ah,
sepertinya masih jauh. Tak sabar aku menunggu sumber suara itu.
Suara
teriakan khas itu terdengar lagi. Segera aku memanggilnya dengan suara yang
cukup kencang. Yes, akhirnya penyelamat sepatu coklatku datang! Tapi ada yang
aneh, aku memanggil satu tukang sol tapi mengapa yang datang dua orang bertopi
yang memanggul perlengkapan sol? Dan sepersekian detik kemudian, aku baru
tersadar kalau mereka memang datang berdua sejak tadi, hanya saja aku tak
melihat salah satu dari mereka karena terhalang rimbun dedaunan.
Segera
aku ambil sepatu coklat di rak depan kamarku, dan dilanjutkan dengan proses
tawar-menawar ongkos sol. Sayangnya ilmu tawar –menawarku tak terlalu bagus.
Kami pun sepakat pada angka tiga belas ribu rupiah. Baiklah, aku memang tak
berbakat menawar. Kedua tukang sol sepatu itu segera menjalankan tugasnya. Aneh
sekali, baru kali ini aku melihat tukang sepatu yang bekerja berdua. Seorang
mengerjakan sepatu kiri, dan seorang lainnya mengerjakan sepatu kanan.
Aku
melanjutkan bercerita dengan temanku sambil tetap memperhatikan kedua sepatuku
yang nasibnya sedang berada dalam keahlian menjahit kedua tukang sol itu.
Sebentar, ada lagi yang aneh. Aku baru menyadari sosok di balik topi yang
dikenakan mereka berdua. Hei, mereka masih sangat muda! Memang tadi aku
mendengar suara yang cukup muda saat tawar-menawar harga tadi. Tapi aku tak
menyangka wajah-wajah di balik topi itu semuda itu. Seumuran adikku? Hmm..
Tidak tidak tidak. Mereka lebih muda! Mungkin seumuran anak SMP. Wajah mereka
berdua mirip, mungkin kakak beradik. Entahlah, aku tak mau bertanya dan mengganggu
mereka berdua yang sedang menjahit sepatuku sambil bersenda gurau. Ya, mereka
begitu menikmati saat-saat menjahit sepatuku itu. Sambil saling pamer keahlian
masing-masing. Memperlihatkan jahitan siapa yang lebih rapi. Aku sempat
tertegun melihatnya. Bagaimana mereka bisa berbahagia hanya dengan menikmati
menjahit sepatu.
Tak
lama berselang, salah satu dari mereka memanggilku. Sepatuku telah rapi
kembali. Anak yang memanggilku tadi menyerahkan sepatuku dengan begitu
sopannya. Dan segera ku ulurkan tanganku sembari menyerahkan uang sebagai upah
jerih payah mereka. Setengah malu ia mengambil uang yang aku berikan sambil
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Setelah merapikan perlengkapannya,
mereka berpamitan seraya berterimakasih dan mengucapkan salam. Aku dan temanku
-yang masih berada di teras- masih terheran-heran melihat betapa sopan dan
berbahagianya kedua anak itu.
***
“Kriinnngg...
Kriiinnngg...”, alarmku berbunyi. Setengah malas ku tekan tombol kecil jam
coklat berbentuk kubus di meja kecil samping tempat tidurku itu. Setelah senam
ke kiri kanan sambil merenggangkan otot-otot yang kaku setelah tidur semalaman,
aku segera mengayunkan langkahku menuju kamar mandi. Masih terlalu pagi untuk
mandi sebenarnya, tapi hari ini aku dan beberapa kawanku akan mengerjakan tugas
observasi ke beberapa tempat. Aku harus bersiap diri lebih awal.
Setengah
jam berselang, aku sudah siap dengan berbagai peralatan di ranselku. Tak lupa
ku ikat tali sepatu coklat yang sudah bisa ku gunakan lagi. Tugas studi kasus Sosiologi
kali ini mengharuskanku melakukan observasi di beberapa terminal. Ya, aku dan
beberapa orang teman sekelompokku akan mengamati kehidupan anak jalanan di
sana. Rencananya kami juga mewawancarai beberapa anak jalanan itu. Semoga saja
tak sulit mendekati mereka.
Deru
knalpot motor Rina dan terdengar dari arah jalan. Kostku menjadi tujuan
penjemputan terakhir, jadi kami langsung menuju target observasi kami setelah
dari kostku. Kami akan menuju tiga terminal hari ini. Sengaja kami mengambil
rute dari terminal yang terjauh.
***
Enam
jam berada di dua terminal membuat kami cukup lelah hari ini. Kami mendapatkan
foto kegiatan para anak jalanan di dua tempat itu. Kami juga sempat
mewawancarai beberapa dari mereka. Tuntutan ekonomi. Itulah yang menjadi inti
dari jawaban mereka tiap kami tanyakan alasan mengapa mereka memilih menjadi
anak jalanan yang sangat dekat dengan kerasnya kehidupan. Beberapa dari mereka
sempat mengenyam bangku pendidikan hingga sekolah dasar, beberapa bahkan hingga
sekolah menengah pertama. Namun kesulitan ekonomi memaksa mereka menanggalkan
seragam sekolahnya, dan akhirnya melanjutkan hidup mereka di jalanan.
Kami
melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah terminal yang berada tak jauh
dari kampus kami. Terminal terdekat sengaja kami jadikan tujuan terakhir untuk
mengantipasi kalau-kalau observasi kami berjalan hingga cukup malam. Jadi kami
tak perlu terlalu khawatir untuk pulang.
Sesampainya
kami di terminal, adzan Ashar berkumandang. Segera kami menuju masjid terminal
yang berada tak jauh dari pintu keluar terminal. Sebenarnya kondisi masjid ini
cukup baik, hanya saja banyaknya orang dengan begitu banyak barang bawaannya
yang beristirahat di masjid ini membuat sedikit kurang nyaman. Seperti shalat
Dzuhur di terminal sebelumnya, kami bergantian shalat. Aku, Rina, Tomi, dan
Andi shalat terlebih dahulu, sementara dua teman kami lainnya menjaga barang
kami.
Setelah
selesai, kami langsung bertukar giliran menjaga barang. Sembari berbincang
dengan beberapa teman yang telah selesai shalat, aku mengamati orang-orang di
sekitaran masjid. Benar-benar beragam. Ada seorang ibu yang repot membawa dua
tas besar, belum lagi tangannya sibuk menggandeng dua anaknya yang masih
balita. Selintas ku berpikir begitu teganya sang ayah yang membiarkan istrinya
kerepotan seperti itu. Hush, cepat –cepat ku usir pikiran itu. Mungkin saja
ayah dua anak tak bersalah itu sedang sibuk membanting tulang demi melihat
senyum kedua buah hatinya dan istri tercinta.
Tak
jauh dari ibu dan anak itu, ada seorang pedagang makanan yang agak sempoyongan
mengusung dagangannya. Cukup berat sepertinya. Aku terus mengedarkan pandangan.
Sebentar! Sepertinya aku mengenal sosok dua orang yang memanggul peralatan sol
sepatu. Hei, itu dua bocah tukang sol yang waktu itu memperbaiki sepatu coklat
yang saat ini sedang aku kenakan. Tapi mengapa mereka berada di sini? Bukannya
ini cukup jauh untuk ukuran mereka yang berjalan kaki dari kawasan kostku? Tapi
memang hanya sekali itu aku lihat mereka di kawasan kostku. Oh, mungkin waktu
itu mereka iseng berjalan ke kawasan itu, pikirku singkat. Sepertinya mereka
berjalan ke arahku. Semakin dekat. Oh, ternyata mereka menuju masjid. Seperti
kami, mereka bergantian shalat dan menjaga barang.
Sekitar
lima menit berselang, seluruh tim telah menyelesaikan shalat Ashar. Kami melanjutkan
observasi. Kami membagi tim menjadi dua kelompok. Berbekal kamera, recorder, dan catatan kecil di setiap
kelompok kami segera berpisah sesuai pembagian kelompok yang telah disepakati.
Aku
dan dua orang sekelompokku mendapat tugas di kawasan sisi utara terminal.
Kawasan ini terkenal cukup rawan, beberapa kali sempat ku dengar kawanku
kehilangan berbagai barang berharganya di kawasan para sopir bis menurnkan
penumpangnya dan langsung disambut oleh angkutan kota tak jauh dari sana.
Sambil berdoa dalam hati, kami melangkah ke sana.
Jeprat-jepret
sana-sini. Catat perilaku para anak jalanan. Cukup seru sebenarnya. Ada satu
anak jalanan yang ku perhatikan. Anak jalanan itu ada yang mengamen kesana
kemari, dan menyapa hampir setiap pedagang yang ditemuinya. Sebenarnya dia anak
yang ramah, tapi orang pasti akan berpikir dua kali untuk mendekatinya begitu
melihat kedua lengannya yang dipenuhi tatto. Sebenarnya tak terlalu banyak anak
jalanan yang ku lihat di kawasan ini. Mereka sepertinya lebih banyak di kawasan
lainnya, yang merupakan terminal keberangkatan.
Matahari
mulai turun. Suasana di terminal tak kunjung sepi, para sopir tak
henti-hentinya menurunkan penumpang. Satu bus datang lagi. Penumpang segera
tumpah ruah dari pintu kecil di sisi kiri bus itu. Berjejal-jejalan. Sambil
mengusap peluh yang bercucuran setelah sekian lama mereka berdesak-desakan di
dalam bus sana.
“Copeeettt!!!
Tolooonng!!” tiba-tina terdengar teriakan tak jauh dari bus itu. Copet? Sontak
aku langsung waspada dan mengecek barang-barangku. Kerumunan orang segera
menuju asal suara itu. Seorang ibu muda, dia menunjuk-nunjuk ke satu arah
sambil gemetar. Di sana terlihat seorang anak muda sedang berjalan
tergesa-gesa. Segera kerumunan orang berlari ke arahnya. Anak itu terus
mempercepat langkahnya. Orang-orang semakin mendekatinya, ia berlari. Aku dan
teman-temanku segera mengikuti mereka. Bahan yang bagus untuk diulas di laporan
kami, pikirku. Anak itu berlari mendekati tikungan, semakin cepat. Tiba-tiba ia
melempar tas kecil yang diambilnya ke arah lain. Seorang lagi menangkap tas
itu. Kerumunan itu langsung membagi tugas, sebagian mengejar anak tadi,
sebagian menuju anak lain yang menerima lemparan tas itu. Anak kedua yang
menerima lemparan itu begitu mudah ditangkap, sepertinya ia tidak siap dengan
kejaran begitu banyak orang. Aku yang sudah cukup lelah berlari memilih
berhenti di dekat kerumunan anak yang tertangkap itu. Mereka memukuli anak itu.
Segera aku ambil kamera di tasku. Aku ingin mengambil beberapa gambar untuk
laporanku nanti. Aku semakin mendekat sambil mengambil beberapa gambar. Tak
tega sebenarnya. Orang-orang meninju perut anak itu, menghantam pipinya. Darah
segar mengucur dari hidungnya. Wajah anak itu benar-benar babak belur. Aku
mengenali wajah itu! Wajah tukang sol sepatu! Hantaman bertubi-tubi masih
menghujani tubuhnya! “Hei, hentikan semua ini! Tidak mungkin ia komplotan
pencopet tadi! Dia hanya tukang sol yang lewat! Ya, hanya lewat! Bahkan tadi
aku melihatnya shalat! “ teriakanku tercekat di tenggorokan. Tak satu patah
katapun keluar.
Darah
segar kini mengucur dari bibir bocah sol itu. Ia semakin lemah terkulai.
Orang-orang semakin beringas memukulinya. Dari kejauhan, bocah sol yang biasa
bersamanya berlari mendekat. Ia berteriak, “Kakaaaaaaaaaaaaaaaakkkk!!!”.
Kerumunan orang itu mendengarnya, dan dengan begitu cepatnya mereka
berkesimpulan bahwa ia adalah teman sekomplotannya. Sebagian dari mereka
menarik anak itu, membawanya ke dalam lautan hantaman tinju orang-orang. Ku
lihat air mata menggenang dari matanya saat ia meringis kesakitan. Aku terdiam.
Mereka penyelamat sepatu coklat kesayanganku. Dan orang-orang itu, mereka
penyelamat tas kecil dan harta benda ibu itu. Aku benar-benar terdiam.
as always.. I just write down what going on my mind.. :)
g langsung dibuang aja ya, kasian bgt tukang sol spatunya :)
BalasHapus