Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel motivasi tentang ketulusan. Ada bagian yang benar-benar berkesan bagi saya. Isinya seperti ini..
....Tahukah anda bagaimana "rasa" sebuah ketulusan? Setiap dari kita pasti pernah memberikan sesuatu dengan setulus murni. Namun, tidak banyak yang mampu mememahaminya. Karena ketulusan bukanlah rasa, apalagi untuk dirasa-rasakan. Ketulusan adalah rasa yang tak terasa, sebagaimana anda menyilahkan teman anda mengambil pensil patah anda. Tiada setitik pun keberatan. Tiada setitik pun permintaan terima kasih. Tiada setitik pun rasa berjasa. Semuanya lenyap dalam ketulusan. Sayangnya tidak mudah bagi kita untuk memandang dunia seperti pensil patah itu. sehingga selalu ada rasa keberatan atau rasa berjasa saat kita saling berbagi...
Cukup menohok rasanya ketika membaca artikel ini. Selama ini saya merasa saya sudah berusaha menjadi orang yang tulus. Tapi, setelah membaca artikel ini saya menjadi sadar. Merasa tulus adalah salah satu bentuk ketidaktulusan. Saya sering kali berkata dalam hati, "ya, saya tulus kok!" tapi sisi lain dari hati saya seraya berkata, "tuh Fin, kamu udah tulus lho!". Seolah-olah saya menyombongkan ketulusan itu pada diri saya sendiri. Ini yang namanya tulus?? Hmm, saya rasa saya salah. Mungkin itulah ketulusan yang dirasa-rasakan. Bukan, itu bukan ketulusan.
Tak hanya tentang kesombongan pada diri saya sendiri itu. Saya juga cukup tersindir saat membaca bagian tentang keberatan, terima kasih, dan rasa berjasa. Keberatan? Sepertinya untuk yang satu ini masih bisa "dihandle" dengan baik. Terima kasih dan rasa berjasa? Ya, dua hal ini masih tidak dapat saya handle dengan baik. Sering kali saya memberikan bantuan pada orang lain, dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang saya bantu itu. Memang, saya berterima kasih pada mereka yang telah memberikan saya kesempatan untuk berbuat baik dengan cara membantu mereka. Tapi, tak jarang juga saya mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah saya bantu namun tidak menunjukkan sikap berterima kasih.Saya harap orang itu merasa tersindir dan sadar akan sikap tidak-tahu-terima-kasih-nya itu. Namun, apa yang jadi alasan saya untuk membedakan mana orang yang bersikap berterima kasih dan yang mana yang tidak? Ya, semua itu karena saya mengharapkan terima kasih itu. Karena saya merasa berjasa dan saya merasa pantas untuk sebuah ucapan terima kasih. Ini yang namanya tulus?? Hmm, saya rasa saya salah lagi. Bukan, itu bukan ketulusan.
Kesimpulan yang saya dapat? Saya masih harus banyak belajar tentang ketulusan. Tak hanya sekedar membaca artikel itu, lalu menyadari kesalahan-kesalahan saya tanpa ada perubahan nyata. Ya, saya harus berubah. Saya akan merasakan ketulusan dalam arti sebenarnya. Ketulusan yang bahkan tak perlu kita sadari bagaimana "rasanya". :-)
....Tahukah anda bagaimana "rasa" sebuah ketulusan? Setiap dari kita pasti pernah memberikan sesuatu dengan setulus murni. Namun, tidak banyak yang mampu mememahaminya. Karena ketulusan bukanlah rasa, apalagi untuk dirasa-rasakan. Ketulusan adalah rasa yang tak terasa, sebagaimana anda menyilahkan teman anda mengambil pensil patah anda. Tiada setitik pun keberatan. Tiada setitik pun permintaan terima kasih. Tiada setitik pun rasa berjasa. Semuanya lenyap dalam ketulusan. Sayangnya tidak mudah bagi kita untuk memandang dunia seperti pensil patah itu. sehingga selalu ada rasa keberatan atau rasa berjasa saat kita saling berbagi...
Cukup menohok rasanya ketika membaca artikel ini. Selama ini saya merasa saya sudah berusaha menjadi orang yang tulus. Tapi, setelah membaca artikel ini saya menjadi sadar. Merasa tulus adalah salah satu bentuk ketidaktulusan. Saya sering kali berkata dalam hati, "ya, saya tulus kok!" tapi sisi lain dari hati saya seraya berkata, "tuh Fin, kamu udah tulus lho!". Seolah-olah saya menyombongkan ketulusan itu pada diri saya sendiri. Ini yang namanya tulus?? Hmm, saya rasa saya salah. Mungkin itulah ketulusan yang dirasa-rasakan. Bukan, itu bukan ketulusan.
Tak hanya tentang kesombongan pada diri saya sendiri itu. Saya juga cukup tersindir saat membaca bagian tentang keberatan, terima kasih, dan rasa berjasa. Keberatan? Sepertinya untuk yang satu ini masih bisa "dihandle" dengan baik. Terima kasih dan rasa berjasa? Ya, dua hal ini masih tidak dapat saya handle dengan baik. Sering kali saya memberikan bantuan pada orang lain, dan mengucapkan terima kasih kepada orang yang saya bantu itu. Memang, saya berterima kasih pada mereka yang telah memberikan saya kesempatan untuk berbuat baik dengan cara membantu mereka. Tapi, tak jarang juga saya mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah saya bantu namun tidak menunjukkan sikap berterima kasih.Saya harap orang itu merasa tersindir dan sadar akan sikap tidak-tahu-terima-kasih-nya itu. Namun, apa yang jadi alasan saya untuk membedakan mana orang yang bersikap berterima kasih dan yang mana yang tidak? Ya, semua itu karena saya mengharapkan terima kasih itu. Karena saya merasa berjasa dan saya merasa pantas untuk sebuah ucapan terima kasih. Ini yang namanya tulus?? Hmm, saya rasa saya salah lagi. Bukan, itu bukan ketulusan.
Kesimpulan yang saya dapat? Saya masih harus banyak belajar tentang ketulusan. Tak hanya sekedar membaca artikel itu, lalu menyadari kesalahan-kesalahan saya tanpa ada perubahan nyata. Ya, saya harus berubah. Saya akan merasakan ketulusan dalam arti sebenarnya. Ketulusan yang bahkan tak perlu kita sadari bagaimana "rasanya". :-)
Komentar
Posting Komentar