Repost from my notes on facebook, Sunday, 10 October 2010 at 14:41
Sore itu, di sebuah ruang D205 yang penuh dengan tangga, seorang Dosen bertanya pada mahasiswanya, "mau jadi apa kalian 10 tahun lagi?". Beragam jawaban pun muncul dari para mahasiswa, tentu saja jawaban yang tidak jauh dari nuansa "keuangan". Kerja di Departemen Keuangan pak, tepatnya di Direktorat Jenderal Pajak, jadi Auditor pak, kerja di BPK pak, dan beragam jawaban lainnya. Untung saja saya tak ditunjuk oleh Bapak Dosen. Mengapa? Karena yang terlintas di pikiran saya saat itu hanya, "jadi pegawai Departemen Keuangan pak". Tidak ada penjelasan lebih jauh.
Tiba-tiba aku teringat sekian tahun lalu ketika mendapat pertanyaan serupa
SD, fina mau jadi apa?
"Aku mau punya Cafe sekaligus Taman Bacaan, terus aku mau jadi orang terkenal, jadi ahli Matematika gitu, jadi semua orang bilang aku tuh orang pinter. Jadi orang-orang tuh suka ada di deket aku. Terus aku mau jadi penari, kan aku suka nari. Entar aku nari ngewakilin Indonesia keliling dunia. Hebat kan??".
Aku yang dibesarkan di keluarga yang sangat suka membaca, dan dibimbing oleh Bu Tutik, seorang Guru Matematika yang sangat hebat. Aku yang menikmati setiap olesan make-up dan setiap gemuruh tepuk tangan saat menampilkan sebuah tarian.
SMP, fina mau jadi apa?
"Aku (masih) mau mendirikan sebuah Cafe sekaligus Taman Bacaan. Aku udah nyiapin namanya lho!! Namanya Chocolafe. Jadi Cafenya nuansa coklat gitu, terus makanannya juga nuansa coklat. Jadi aku bisa makan coklat sepuasnya di Cafeku. Aku juga bisa baca buku sepuasnya. Tapi semua orang harus jaga bukunya, nggak boleh bukunya kena noda coklat!! Aku marahin kalo sampe bukuku kotor!
Terus, aku masih pengen jadi Ahli Matematika. Matematika tuh seru. Aku mau mendirikan Klub Matematika gitu. Jadi orang-orang yang suka Matematika bisa kumpul, terus ngutek-ngutek Matematika sampe eneg!! Terus, orang-orang yang nggak suka Matematika, aku ajak juga. Terus aku kasih tau, Matemattika tu asiiiik!! Terus, aku mau jadi penyanyi! Aku mau jadi vokalis band! Alirannya poprock!! Seru kan?? Aku bisa teriak sambil ngeliatin penonton di atas panggung. Kereeeen..."
Aku yang semakin tergila-gila dengan buku dan Matematika. Semakin banyak buku yang ku baca. Semakin banyak kompetisi Matematika yang ku ikuti. Semakin banyak uang yang ku peroleh dari Matematika. Semakin ku tertarik dengan menyanyi (walau dengan suara yang benar-benar pas-pasan)
SMA, fina mau jadi apa?
"Aku (masih tetap) mau mendirikan sebuah Cafe sekaligus Taman Bacaan. Kan waktu SMP aku udah bikin namanya, nah sekarang aku udah punya Logo sama Posternya (pada saat itu seorang Guru Bahasa Inggris menugaskan kami membuat poster, atau apapun yang berbau pengumuman. Dan dengan semangat 45, aku menorehkan krayon di atas kertas manila dan membuat Poster Chocolafe.) Oh iya, aku juga udah nyiapin desain interiornya. Entar aku mau jadi Arsitek juga. Jadi aku sendiri yang buat desain Cafe sama rumahku juga."
Aku yang sudah tidak tergila-gila dengan Matematika. Tapi tetap konsisten dengan Taman Bacaan Impianku.
Kelas 3 SMA, pendaftaran PSB Universitas Brawijaya
"Aku mau kuliah di Planologi. Jadi aku bisa buat tata kota yang sesuai hatiku. " Impianku menjadi Ahli Tata Kota makin menjadi saat pendaftaran PSB Universitas Brawijaya dibuka. Dengan penuh semangat, aku menyiapkan setiap berkas yang dibutuhkan.
Tak lama berselang, seorang sahabat yang berada di kota lain mengirimkan sebuah pesan, "Gimana fin, keterima di UB?". Ternyata hari itu pengumuman PSB UB. Segera ku menuju Warnet di dekat rumah, aku lupa nomor pendaftaranku. Untung saja pihak Brawijaya telah menyiapkan data nomor pendaftaran di situsnya. Sekian digit tertera di kolom nomor pendaftaran, sekian menit berlalu, dan ternyata aku hanya mendapati huruf-huruf berwarna merah yang menyatakan aku tidak lolos. Menyakitkan. Aku masih ingat bagaimana perasaanku saat itu. Aku segera mengabari orang tua, kakak, dan sahabatku. Semua memberi semangat. Aku masih bertahan di warnet mencari tau tentang nasib temanku yang lain. Tapi bukan itu alasanku, aku tak ingin keluargaku melihat gurat kecewa dan air mataku saat itu. Sedih. Sakit. Kecewa. Saat itu kakakku yang kuliah di Universitas Brawijaya dan juga melihat pengumuman PSB memberi semangat, "ya sudah, nggak papa, kan masih ada SNMPTN. Entar ikut tes STAN juga.". SNMPTN? oke, akan aku coba! tes STAN? nantilah, aku pikir-pikir lagi.
Kelas 3 SMA, pendaftaran PMDK Universitas Malang
"Ma, tadi aku nganterin temen ngurus PMDK UM!", cerita inilah yang mengawali perdebatan antara aku dan orang tuaku. Orang tuaku menganjurkan aku ikut mencoba PMDK UM yang sudah mendekati batas waktu pandaftaran. Sedangkan aku, sama sekali tidak menaruh minat pada UM. Perguruan tinggi yang dikenal menghasilkan guru-guru berkualitas ini bukan jalanku, pikirku. Aku nggak mau jadi guru. Sama sekali. Namun, akhirnya akupun mendaftar. Sekian hari berlalu, aku tidak menunggu. Aku nggak mau jadi guru. Kalimat itu masih berkutat di pikiranku. Hari pengumuman tiba. Subuh, aku masih belum terjaga. Dan ternyata kakakku sudah melihat pengumuman. Pelan-pelan dia berkata, "Put, namamu nggak ada.." Kosong. Hampa. Aku tidak merasakan apa-apa. Terlalu sakit rasanya. Aku, yang dengan terpaksa mendaftar PMDK UM, memilih Matematika dengan bermodalkan sekian sertifikat perlombaan Matematika, masih tidak diterima bahkan di tempat yang tidak aku inginkan. Sakit sekali rasanya.
Ujian Akhir Nasional berakhir,,
Aku yang masih sakit dengan dua kegagalan sebelumnya, akhirnya memutuskan mengikuti bimbingan belajar untuk SNMPTN. Brawijaya Study Club, pilihanku jatuh pada bimbingan ini atas rekomendasi kakak sepupuku yang sudah pernah mengikuti program bimbingan tersebut. Ujian berakhir, dan aku langsung menuju Malang.
Materi demi materi mulai diberikan. Awalnya aku berkecil hati karena hanya aku yang berasal dari daerahku di bimbel itu. Try out pertama, aku mulai melihat "cahaya". Aku bisa. Try out selanjutnya, "cahaya" itu semakin jelas. Semangatku kembali. Pelan-pelan, ku bangun lagi mimpi-mimpiku. Ilmu Administrasi Bisnis. Aneh memang aku menempatkan jurusan ini di pilihan pertama. Bukan, bukan karena aku ragu akan kemampuanku. Tapi karena itu yang aku inginkan, bergelut di dunia bisnis. SNMPTN berlalu, dan tiba pendaftaran USM STAN. Perjuangan. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan pendaftaran USM STAN. Ya, baru pendaftaran saja sudah benar-benar penuh perjuangan. Berkali-kali ke warnet untuk e-registrasi yang selalu gagal. Mengantri sepanjang hari pada saat penyerahan berkas. Seorang diri, benar-benar seorang diri. Tanpa kawan, tanpa teman. Dan perjuangan dilengkapi dengan kebimbangan yang datang pada malam tepat sebelum USM STAN.
Malam itu, aku bercerita pada seorang sahabat tentang kebimbanganku, dia menegurku dan bertanya apa mauku. Kalau aku mau, jalani. Kalau tidak, tinggalkan. Ya, aku mau. Aku kerjakan soal USM STAN dengan penuh keyakinan, ya aku mau.
Singkat cerita, aku diterima STAN setelah beberapa hari kuliah di FIA bisnis Brawijaya, sesuai keinginanku. Tapi STAN terlihat jauh lebih menggiurkan. Bahkan, Pembantu Dekan FIA memberikan selamat pada saat aku mengurus Surat Pengunduran Diri. Senang? pasti. Bangga? Ya. Dengan segala perjuanganku sebelumnya aku berangkat menuju bumi STAN.
Sekarang, fina mau jadi apa?
Berada di STAN membuat aku merasa berada di Zona Nyaman. Persaingan dan ancaman DO memang terkadang membayang-bayangi. Tapi, jaminan masa depan sepertinya sudah di tangan. Bekerja di Departemen Keuangan, BPK, atau BPKP. Benar-benar zona nyaman sepertinya. Mimi-mimpiku sempat mati suri. Ya sudah, ikuti arus saja, kuliah yang baik, selesai, wisuda, kerja sesuai penempatan, berkeluarga, selesai. Dan aku bahagia. Hanya itu. Tidak ada yang spesial lagi. Tidak ada cerita berapi-api saat orang bertanya aku mau jadi apa.
Pertanyaan Dosen beberapa hari lalu membuat aku merenung kembali. Apa mimpiku? Hanya mengikuti ada yang telah terjadi? Pasrah pada nasib? Tidak, itu bukan aku. Aku akan kembali pada aku yang dulu. Yang berani bermimpi. Yang dengan penuh keyakinan melakukan setiap hal untuk mewujudkan mimpiku. Sekarang, aku akan menyusun kembali mimpiku. Mimpi yang lebih berani. Tentu saja dengan tingkat pemikiran dan kedewasaan yang berbeda dengan saat aku sd, smp, sma. Aku akan bermimpi, hingga aku tau akan jadi apa aku 10, 20, 30, dan puluhan tahun lagi..
Sore itu, di sebuah ruang D205 yang penuh dengan tangga, seorang Dosen bertanya pada mahasiswanya, "mau jadi apa kalian 10 tahun lagi?". Beragam jawaban pun muncul dari para mahasiswa, tentu saja jawaban yang tidak jauh dari nuansa "keuangan". Kerja di Departemen Keuangan pak, tepatnya di Direktorat Jenderal Pajak, jadi Auditor pak, kerja di BPK pak, dan beragam jawaban lainnya. Untung saja saya tak ditunjuk oleh Bapak Dosen. Mengapa? Karena yang terlintas di pikiran saya saat itu hanya, "jadi pegawai Departemen Keuangan pak". Tidak ada penjelasan lebih jauh.
Tiba-tiba aku teringat sekian tahun lalu ketika mendapat pertanyaan serupa
SD, fina mau jadi apa?
"Aku mau punya Cafe sekaligus Taman Bacaan, terus aku mau jadi orang terkenal, jadi ahli Matematika gitu, jadi semua orang bilang aku tuh orang pinter. Jadi orang-orang tuh suka ada di deket aku. Terus aku mau jadi penari, kan aku suka nari. Entar aku nari ngewakilin Indonesia keliling dunia. Hebat kan??".
Aku yang dibesarkan di keluarga yang sangat suka membaca, dan dibimbing oleh Bu Tutik, seorang Guru Matematika yang sangat hebat. Aku yang menikmati setiap olesan make-up dan setiap gemuruh tepuk tangan saat menampilkan sebuah tarian.
SMP, fina mau jadi apa?
"Aku (masih) mau mendirikan sebuah Cafe sekaligus Taman Bacaan. Aku udah nyiapin namanya lho!! Namanya Chocolafe. Jadi Cafenya nuansa coklat gitu, terus makanannya juga nuansa coklat. Jadi aku bisa makan coklat sepuasnya di Cafeku. Aku juga bisa baca buku sepuasnya. Tapi semua orang harus jaga bukunya, nggak boleh bukunya kena noda coklat!! Aku marahin kalo sampe bukuku kotor!
Terus, aku masih pengen jadi Ahli Matematika. Matematika tuh seru. Aku mau mendirikan Klub Matematika gitu. Jadi orang-orang yang suka Matematika bisa kumpul, terus ngutek-ngutek Matematika sampe eneg!! Terus, orang-orang yang nggak suka Matematika, aku ajak juga. Terus aku kasih tau, Matemattika tu asiiiik!! Terus, aku mau jadi penyanyi! Aku mau jadi vokalis band! Alirannya poprock!! Seru kan?? Aku bisa teriak sambil ngeliatin penonton di atas panggung. Kereeeen..."
Aku yang semakin tergila-gila dengan buku dan Matematika. Semakin banyak buku yang ku baca. Semakin banyak kompetisi Matematika yang ku ikuti. Semakin banyak uang yang ku peroleh dari Matematika. Semakin ku tertarik dengan menyanyi (walau dengan suara yang benar-benar pas-pasan)
SMA, fina mau jadi apa?
"Aku (masih tetap) mau mendirikan sebuah Cafe sekaligus Taman Bacaan. Kan waktu SMP aku udah bikin namanya, nah sekarang aku udah punya Logo sama Posternya (pada saat itu seorang Guru Bahasa Inggris menugaskan kami membuat poster, atau apapun yang berbau pengumuman. Dan dengan semangat 45, aku menorehkan krayon di atas kertas manila dan membuat Poster Chocolafe.) Oh iya, aku juga udah nyiapin desain interiornya. Entar aku mau jadi Arsitek juga. Jadi aku sendiri yang buat desain Cafe sama rumahku juga."
Aku yang sudah tidak tergila-gila dengan Matematika. Tapi tetap konsisten dengan Taman Bacaan Impianku.
Kelas 3 SMA, pendaftaran PSB Universitas Brawijaya
"Aku mau kuliah di Planologi. Jadi aku bisa buat tata kota yang sesuai hatiku. " Impianku menjadi Ahli Tata Kota makin menjadi saat pendaftaran PSB Universitas Brawijaya dibuka. Dengan penuh semangat, aku menyiapkan setiap berkas yang dibutuhkan.
Tak lama berselang, seorang sahabat yang berada di kota lain mengirimkan sebuah pesan, "Gimana fin, keterima di UB?". Ternyata hari itu pengumuman PSB UB. Segera ku menuju Warnet di dekat rumah, aku lupa nomor pendaftaranku. Untung saja pihak Brawijaya telah menyiapkan data nomor pendaftaran di situsnya. Sekian digit tertera di kolom nomor pendaftaran, sekian menit berlalu, dan ternyata aku hanya mendapati huruf-huruf berwarna merah yang menyatakan aku tidak lolos. Menyakitkan. Aku masih ingat bagaimana perasaanku saat itu. Aku segera mengabari orang tua, kakak, dan sahabatku. Semua memberi semangat. Aku masih bertahan di warnet mencari tau tentang nasib temanku yang lain. Tapi bukan itu alasanku, aku tak ingin keluargaku melihat gurat kecewa dan air mataku saat itu. Sedih. Sakit. Kecewa. Saat itu kakakku yang kuliah di Universitas Brawijaya dan juga melihat pengumuman PSB memberi semangat, "ya sudah, nggak papa, kan masih ada SNMPTN. Entar ikut tes STAN juga.". SNMPTN? oke, akan aku coba! tes STAN? nantilah, aku pikir-pikir lagi.
Kelas 3 SMA, pendaftaran PMDK Universitas Malang
"Ma, tadi aku nganterin temen ngurus PMDK UM!", cerita inilah yang mengawali perdebatan antara aku dan orang tuaku. Orang tuaku menganjurkan aku ikut mencoba PMDK UM yang sudah mendekati batas waktu pandaftaran. Sedangkan aku, sama sekali tidak menaruh minat pada UM. Perguruan tinggi yang dikenal menghasilkan guru-guru berkualitas ini bukan jalanku, pikirku. Aku nggak mau jadi guru. Sama sekali. Namun, akhirnya akupun mendaftar. Sekian hari berlalu, aku tidak menunggu. Aku nggak mau jadi guru. Kalimat itu masih berkutat di pikiranku. Hari pengumuman tiba. Subuh, aku masih belum terjaga. Dan ternyata kakakku sudah melihat pengumuman. Pelan-pelan dia berkata, "Put, namamu nggak ada.." Kosong. Hampa. Aku tidak merasakan apa-apa. Terlalu sakit rasanya. Aku, yang dengan terpaksa mendaftar PMDK UM, memilih Matematika dengan bermodalkan sekian sertifikat perlombaan Matematika, masih tidak diterima bahkan di tempat yang tidak aku inginkan. Sakit sekali rasanya.
Ujian Akhir Nasional berakhir,,
Aku yang masih sakit dengan dua kegagalan sebelumnya, akhirnya memutuskan mengikuti bimbingan belajar untuk SNMPTN. Brawijaya Study Club, pilihanku jatuh pada bimbingan ini atas rekomendasi kakak sepupuku yang sudah pernah mengikuti program bimbingan tersebut. Ujian berakhir, dan aku langsung menuju Malang.
Materi demi materi mulai diberikan. Awalnya aku berkecil hati karena hanya aku yang berasal dari daerahku di bimbel itu. Try out pertama, aku mulai melihat "cahaya". Aku bisa. Try out selanjutnya, "cahaya" itu semakin jelas. Semangatku kembali. Pelan-pelan, ku bangun lagi mimpi-mimpiku. Ilmu Administrasi Bisnis. Aneh memang aku menempatkan jurusan ini di pilihan pertama. Bukan, bukan karena aku ragu akan kemampuanku. Tapi karena itu yang aku inginkan, bergelut di dunia bisnis. SNMPTN berlalu, dan tiba pendaftaran USM STAN. Perjuangan. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan pendaftaran USM STAN. Ya, baru pendaftaran saja sudah benar-benar penuh perjuangan. Berkali-kali ke warnet untuk e-registrasi yang selalu gagal. Mengantri sepanjang hari pada saat penyerahan berkas. Seorang diri, benar-benar seorang diri. Tanpa kawan, tanpa teman. Dan perjuangan dilengkapi dengan kebimbangan yang datang pada malam tepat sebelum USM STAN.
Malam itu, aku bercerita pada seorang sahabat tentang kebimbanganku, dia menegurku dan bertanya apa mauku. Kalau aku mau, jalani. Kalau tidak, tinggalkan. Ya, aku mau. Aku kerjakan soal USM STAN dengan penuh keyakinan, ya aku mau.
Singkat cerita, aku diterima STAN setelah beberapa hari kuliah di FIA bisnis Brawijaya, sesuai keinginanku. Tapi STAN terlihat jauh lebih menggiurkan. Bahkan, Pembantu Dekan FIA memberikan selamat pada saat aku mengurus Surat Pengunduran Diri. Senang? pasti. Bangga? Ya. Dengan segala perjuanganku sebelumnya aku berangkat menuju bumi STAN.
Sekarang, fina mau jadi apa?
Berada di STAN membuat aku merasa berada di Zona Nyaman. Persaingan dan ancaman DO memang terkadang membayang-bayangi. Tapi, jaminan masa depan sepertinya sudah di tangan. Bekerja di Departemen Keuangan, BPK, atau BPKP. Benar-benar zona nyaman sepertinya. Mimi-mimpiku sempat mati suri. Ya sudah, ikuti arus saja, kuliah yang baik, selesai, wisuda, kerja sesuai penempatan, berkeluarga, selesai. Dan aku bahagia. Hanya itu. Tidak ada yang spesial lagi. Tidak ada cerita berapi-api saat orang bertanya aku mau jadi apa.
Pertanyaan Dosen beberapa hari lalu membuat aku merenung kembali. Apa mimpiku? Hanya mengikuti ada yang telah terjadi? Pasrah pada nasib? Tidak, itu bukan aku. Aku akan kembali pada aku yang dulu. Yang berani bermimpi. Yang dengan penuh keyakinan melakukan setiap hal untuk mewujudkan mimpiku. Sekarang, aku akan menyusun kembali mimpiku. Mimpi yang lebih berani. Tentu saja dengan tingkat pemikiran dan kedewasaan yang berbeda dengan saat aku sd, smp, sma. Aku akan bermimpi, hingga aku tau akan jadi apa aku 10, 20, 30, dan puluhan tahun lagi..
jadi skarang?
BalasHapus